Kamis, 15 Maret 2018

Pada Wajahmu

Pada wajahmu yang sejuk teduh
Bumi yang kaupijak penuh tetesan peluh
Kala waktu menjelang shubuh
Rasa malas yang kau bunuh
Demi pengabdian kau tunduk patuh

Pada wajahmu yang bersahaja
Ada kisah masa lalu penuh duka
Ketika titian hidup keras menempa
Kesabaranmu seluas samudera
'Tuk diri dan anak yang tumbuh dewasa
Maka keluh kesah jadi sirna

Pada wajahmu yang nampak lelah
Aku melihat engkau yang susah dan payah
Tubuh melemah, mata memerah
Lisanmu masih berucap hamdalah
Karena kau tak kenal kata "sudah"

Pada wajahmu yang penuh pasrah
Aku melihat jiwa tak kenal menyerah
Biarpun luka kian parah
Kau tetap berlari bak busur panah

Pada matamu yang manja sayu
Kau wanita berperangai ayu
Sinarmu memancar tak pernah layu
Menembus kalbu halus merayu

Senin, 12 Maret 2018

Aku Rindu Padamu

Kaki melangkah, mataku terpana
Aku rindu padamu

Gambarmu kutatap mesra
Aku rindu padamu

Kau dipuji banyak manusia
Aku rindu padamu

Namamu disebut di setiap masa
Aku sangat rindu padamu

Ketika masa lalumu kubaca
Aku makin rindu padamu

Saat langit cerah, pintunya terbuka
Aku rindu padamu

Dalam seruan lirih mengalun doa
Aku rindu padamu

Bairpun kau jauh di mata
Aku tetap rindu padamu

Walau jarak dan batas pisahkan kita
Tapi aku rindu padamu

Aku ingin kehadiranmu menjadi nyata
Aku rindu padamu

Menjumpaimu membuat hati bahagia
Aku rindu padamu

Meski sekali saja, aku ingin berjumpa
Karena aku rindu padamu

Baitullah, kau buat 'ku tak sanggup lagi bicara
Hanya berkata: aku rindu padamu

Jumat, 09 Maret 2018

Shubuh di Pangkalan Bun

Fajar bukan lagi ilusi atau sekadar penanda
Ia adalah tanda alam yang nyata
Suara mengalun merdu menggema
Menyusup, menembus, melalui jendela

Terdengar lantunan shalawat dan kalam
Lampu istanamu masih nyala temaram
Kau tahu, hari bukan lagi malam

Di sini dingin bukan karena angin
Gelap bukan tak ada cahaya lilin
Dengkuranmu meski pelan, matikan batin
Sembunyikan badan bak sepasang pengantin

Aku menyelinap melalui pintu
Menghampiri cahaya meniti jalan berbatu
Pada pujian kepada Dzat Yang Menguasai Waktu
Menapak pasti pada jalan yang satu

Ya Rabbi, aku menyembah-Mu

Selasa, 06 Maret 2018

Fajar Biarkan Menyingsing (Persembahan untuk Pak I Ketut Bagiarta)

Dahulu... 
Ibunda pernah bilang
Ketika fajar datang
Ia ambilkan kain selendang
Selimuti sang putra tersayang
Tiada rela dingin membalut badan, menusuk tulang
Ia anaknya meski bukan semata wayang
Namun hadirnya adalah harapan yang hilang
Bagi jiwa-jiwa berharap tenang

Ketika dhuha mulai lekas
Kau ambil sajadah bertakhta benang emas
Lantunkan doa penuh harap dan cemas
Dalam hati tertanam lalu terucap lepas

Kala terang insan menjemput rejeki
Engkau wujudkan sejuta mimpi
Pada semua, pada diri sendiri
Meski kau merasa belum memberi arti
Kepada manusia, kepada negeri

Bapak, ini aku...
Meski petang datang padamu
Ku bersandar pada doa-doamu
Saat sendiri tanpa kehadiranmu
Saat keramaian mulai meninggalkanmu
Kini purnatugas menjemputmu

Fajar, biarkan ia tetap menyingsing
Ia menghangatkan, maka jangan kau berpaling
Biarkan basah peluhmu mengering

Mungkin kau ingin istirahat sejenak
Melewati hari-hari penuh riak dan ombak
Lepaskan penat, hilangkan jarak
Karena akhir tak bisa ditebak

Bapak, padamu kusampaikan terima kasih
Pada pengorbanan hidupmu yang penuh pedih
Pada hatimu yang bersih
Pada nasihatmu yang tulus bak kain putih
Meski sering terucap sangat lirih
Karena perpisahan ini terasa perih

Kamis, 06 April 2017

Tutur Pak Kyai

Dulu, kau yang ajari aku kekuataan
Ketika maghrib t'lah menjelang
Anak-anak menimba air isi padasan

Dulu, kau yang ajari aku ketaatan
Ketika surau kumandangkan adzan
Sapaanmu ajak shalat ditegakkan

Dulu, kau yang ajari aku keteguhan
Ketika kemapanan masih jadi impian
Kau sendiri pun belum berkecukupan

Dulu, kau yang ajari aku kesabaran
Ketika turutan masih sekadar hafalan
Lalu perlahan tajwid kau pahamkan

Dulu, kau yang ajari aku kelembutan
Ketika maulid diba jadi candaan
Lalu makna kata-katanya kau jelaskan

Dulu, kau yang ajari aku keberanian
Ketika takhayul jadi cerita harian
Lalu kau bilang: manusia makhluk pilihan

Dulu, kau yang ajari aku kesulitan
Karena hidup selalu penuh ujian
Lalu kau katakan: bayi saja mau berjuang

Dulu, kau yang ajari aku keindahan
Ketika lantunan Kitab kubaca pelan
Lalu kupelajari qiroatil Quran

Dulu, kau yang ajari aku ketundukan
Ketika aku merasa jadi kebanggaan
Lalu kau contohkan adab, santun, dan sopan

Dulu, kau yang ajari aku arti kejayaan
Ketika dunia kudapatkan
Lalu di akhirat raih kemenangan

Terima kasih, Kyai-ku

Rabu, 05 April 2017

Rasa

Rasa itu seperti hembusan angin
Sejuk tapi senyap
Tak kentara tapi nyata
Beribu kata tak mampu menggambarkan rasa
Cukuplah aku dan Sang Pencipta Rasa yang tahu
Rasa tak ingin dipaksa
Rasa ingin bebas bagai angin
Rasa akan menyelinap
Rasa akan pergi
Dan akan datang lagi

Oh, rasa
Kadang riuh... sepi... hambar... tawa
Suka... cela
Semua bisa dirasa

Rasa yang paling agung
Rasa cinta pada Sang Pencipta Rasa

Rasa yang indah ada
Saat manusia cinta pada sesama
Karena Pencipta Rasa

Saat dunia pergi
Rasa akan tetap hadir
Tapi, rasa akan pergi
Saat raga juga pergi

(Bandung, 5 April 2017)

Kontributor: Dewi Pudji Rahayu

Selasa, 04 April 2017

Pahlawan Tanpa Prasasti

Pada pundakmu yang terbungkuk lesu
Aku lihat kau panggul senjata seadanya
Pada rambutmu yang memutih bak kain belacu
Kulihat kau panglima nan berwibawa
Pada kulitmu yang mengendur layu
Aku melihat semangat mengharu biru, membara
Pada matamu yang pudar cahayanya, sayu
Aku melihat keteduhan juga lara

Buatmu, pahlawan tak mesti terukir
Dalam prasasti negara
Bagimu, merdeka bukan tujuan utama
Untukmu, bahagia kami di masa kini
Pengiring nikmat kuburmu saat ini
Di sisimu, pekik merdeka lebih bermakna
Karena ia adalah jalan menuju sorga

Pada Wajahmu